Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Mengenang Akhlak Nabi Suci Kita :
Muhammad SAW Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah
hingar bingar dengan tangisan ummat Islam; antara percaya dan tidak,
Rasul yang mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian,
seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, “Ceritakan padaku
akhlak Muhammad.” Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup
berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah
ditemui dan diajukan permintaan yang sama, Bilal pun menangis, ia tak
sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut
menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat
senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia
Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan
berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata
berkata : “ Ceritakan padaku keindahan dunia ini!” Badui ini menjawab,
“Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia
ini...” Ali menjawab, “ Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia ini,
padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan
hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak
Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki
budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam 68: 4).”
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering
disapa Khumairah oleh Nabi. Aisyah menjawab,”Khuluquhu al-Quran (Akhlaknya
Muhammad itu Al-Quran).” Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi
itu bagaikan Al-Quran berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia
segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat seluruh kandungan
Quran. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak
QS Al-Muminun (23: 1-11).
Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari
pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak
Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan
junjungan mereka. Mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling
indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi Penutup ini.
Kembali ke Aisyah. Ketika ditanya bagaimana perilaku Nabi, Aisyah
menjawab “Semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru
bercerita tentang saat terindah baginya sebagai seorang isteri, “ Ketika aku
sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan
kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku
untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’ “ Apalagi yang lebih
membahagiakan seorang isteri, karena dalam episode tersebut terkumpul kasih
sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang
juga seorang utusan Allah.
Nabi Muhammad jugalah yang membuat khawatir hati Aisyah ketika
menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar
membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur
di depan pintu. Aisyah berkata, mengapa engkau tidur di sini. Nabi
Muhammmad menjawab,” Aku pulang larut malam, aku khawatir mengganggu
tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan
pintu.” Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku
kita terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan, berhati-hatilah kamu
terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.
Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat,
mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.
Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat
tersebut terlambat datang ke Majlis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia
minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau
memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul
memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat
serbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas
tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima
serban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium
serban Nabi.
Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita
junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat
alas duduk kita. Hanya menerima kartu lebaran dari seorang pejabat saja
kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia
ingin menyenangkan dan melayani bawahannya.
Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca
kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang
paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah
yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi
Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, syaitan saja
takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka syaitan lewat
jalan yang lain. Dalam riwayat lain disebutkan, Nabi bermimpi meminum
susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang
meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, “Ya Rasul apa maksud (tawil)
mimpimu itu?” Rasul menjawab ilmu pengetahuan.
Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman
menikahi dua putri Nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua
cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu,
tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. “Aku ini kota
ilmu, dan Ali adalah pintunya. Barang siapa membenci Ali, maka ia
merupakan orang munafik.”
Lihatlah diri kita sekarang. jika ada seorang rekan yang punya
sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik
berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan.
Ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita
belum mengikuti sunnah Nabi.
Saya pernah mendengar bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi
Muhammad. Buktinya, dalam Al-Quran Allah memanggil para Nabi dengan sebutan
nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad,
Allah menyapanya dengan Wahai Nabi. Ternyata Allah saja sangat
menghormati beliau.
Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan
pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin
Rasul menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan, Abu Bakar
berkata: “ Angkat Al-Qaqa bin Mabad sebagai pemimpin.” Kata Umar ;”
Tidak, angkatlah Al-Aqra bin Habis.” Abu Bakar berkata ke Umar, “Kamu
hanya ingin membantah aku saja.” Umar menjawab “ Aku tidak bermaksud
membantahmu.” Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin
keras. Waktu itu turunlah ayat: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah.
Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah
kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti
mengeraskan suara kamu ketika bercakap terhadap sesamamu. Agar tidak terhapus
amal-amalmu sedangkan kamu tidak menyadarinya (al-hujurat 1-2)
Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata :”Ya Rasul Allah,
demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali
seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia. “ Umar juga berbicara
kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah
peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah
terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena
melanggar adab saat berada dalam hadirat Nabi.
Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan
pembesar Quraisy, Utbah bin Rabiah. Ia berkata pada Nabi,” Wahai
kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki.
Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau
inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit
yang dideritamu, akan kami carikan ubat. Jika kau inginkan kekuasaan,
biar kami jadikan engkau penguasa kami.”
Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun
beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti,
Nabi bertanya, “ Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?” - “Sudah,” jawab
Utbah. Nabi membalas ucapan Utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika
sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk
mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.
Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak hairan
bagaimana Nabi dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh
musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain.
Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku
kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau
mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara.
Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau
mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara
penceramah kadang-kadang tertutup oleh suara kita.
Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episod hijrah, ada utusan kafir
Mekkah yang meminta janji bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang
pergi ke Madinah sepeninggal Nabi. Selang beberapa waktu, seorang sahabat
rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan
isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir,
akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui
Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? “ Kembalilah engkau ke
Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah
melindungimu.” Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat
ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji
itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu
janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi
telah menyerap di sanubari kita atau tidak.
Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada
para sahabat, “ Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak
ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut
balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan
perbuatanku pada kalian, ucapkanlah! “ Sahabat yang lain terdiam, namun ada
seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “ Dahulu ketika
engkau memeriksa barisan di saat akan pergi perang, engkau meluruskan
kedudukanku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak,
tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.” Para sahabat lain terpana,
tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar
langsung berdiri dan siap membereskan orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun
menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada
di rumah Nabi keheranan ketika Nabi meminta tongkat. Setelah Bilal
menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin hairan, mengapa ada
sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul
berikan pada mereka.
Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya
menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata,
“Lakukanlah!” Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi
suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk
Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu
dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu! Aku ikhlas atas semua
perilakumu wahai Rasulullah.” Seketika itu juga terdengar ucapan -
Allahu Akbar - berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi
itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya
semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin
memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.
Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun
badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan
memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati
karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada
orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan
Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan
kita menjadi orang yang muflis. Naudzu billah.....
Nabi Muhammad ketika saat haji Wada, di padang Arafah yang terik,
dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya
itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “
Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah
aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa
jawaban kalian? “ Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan
air mata. Nabi melanjutkan, “ Bukankah telah kujalani hari-hari bersama
kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku
karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar
menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku sampaikan pada kalian wahyu dari
Allah.....? “ Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “
Benar ya Rasul! “
Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah
saksikanlah...Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah!.” Nabi meminta
kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini
saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah.
Mengenang Akhlak Nabi Suci Kita :
Muhammad SAW Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah
hingar bingar dengan tangisan ummat Islam; antara percaya dan tidak,
Rasul yang mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian,
seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, “Ceritakan padaku
akhlak Muhammad.” Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup
berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah
ditemui dan diajukan permintaan yang sama, Bilal pun menangis, ia tak
sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut
menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat
senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia
Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan
berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata
berkata : “ Ceritakan padaku keindahan dunia ini!” Badui ini menjawab,
“Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia
ini...” Ali menjawab, “ Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia ini,
padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan
hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak
Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki
budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam 68: 4).”
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering
disapa Khumairah oleh Nabi. Aisyah menjawab,”Khuluquhu al-Quran (Akhlaknya
Muhammad itu Al-Quran).” Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi
itu bagaikan Al-Quran berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia
segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat seluruh kandungan
Quran. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak
QS Al-Muminun (23: 1-11).
Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari
pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak
Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan
junjungan mereka. Mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling
indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi Penutup ini.
Kembali ke Aisyah. Ketika ditanya bagaimana perilaku Nabi, Aisyah
menjawab “Semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru
bercerita tentang saat terindah baginya sebagai seorang isteri, “ Ketika aku
sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan
kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku
untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’ “ Apalagi yang lebih
membahagiakan seorang isteri, karena dalam episode tersebut terkumpul kasih
sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang
juga seorang utusan Allah.
Nabi Muhammad jugalah yang membuat khawatir hati Aisyah ketika
menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar
membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur
di depan pintu. Aisyah berkata, mengapa engkau tidur di sini. Nabi
Muhammmad menjawab,” Aku pulang larut malam, aku khawatir mengganggu
tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan
pintu.” Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku
kita terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan, berhati-hatilah kamu
terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.
Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat,
mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.
Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat
tersebut terlambat datang ke Majlis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia
minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau
memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul
memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat
serbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas
tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima
serban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium
serban Nabi.
Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita
junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat
alas duduk kita. Hanya menerima kartu lebaran dari seorang pejabat saja
kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia
ingin menyenangkan dan melayani bawahannya.
Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca
kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang
paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah
yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi
Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, syaitan saja
takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka syaitan lewat
jalan yang lain. Dalam riwayat lain disebutkan, Nabi bermimpi meminum
susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang
meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, “Ya Rasul apa maksud (tawil)
mimpimu itu?” Rasul menjawab ilmu pengetahuan.
Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman
menikahi dua putri Nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua
cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu,
tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. “Aku ini kota
ilmu, dan Ali adalah pintunya. Barang siapa membenci Ali, maka ia
merupakan orang munafik.”
Lihatlah diri kita sekarang. jika ada seorang rekan yang punya
sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik
berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan.
Ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita
belum mengikuti sunnah Nabi.
Saya pernah mendengar bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi
Muhammad. Buktinya, dalam Al-Quran Allah memanggil para Nabi dengan sebutan
nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad,
Allah menyapanya dengan Wahai Nabi. Ternyata Allah saja sangat
menghormati beliau.
Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan
pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin
Rasul menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan, Abu Bakar
berkata: “ Angkat Al-Qaqa bin Mabad sebagai pemimpin.” Kata Umar ;”
Tidak, angkatlah Al-Aqra bin Habis.” Abu Bakar berkata ke Umar, “Kamu
hanya ingin membantah aku saja.” Umar menjawab “ Aku tidak bermaksud
membantahmu.” Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin
keras. Waktu itu turunlah ayat: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah.
Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah
kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti
mengeraskan suara kamu ketika bercakap terhadap sesamamu. Agar tidak terhapus
amal-amalmu sedangkan kamu tidak menyadarinya (al-hujurat 1-2)
Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata :”Ya Rasul Allah,
demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali
seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia. “ Umar juga berbicara
kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah
peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah
terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena
melanggar adab saat berada dalam hadirat Nabi.
Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan
pembesar Quraisy, Utbah bin Rabiah. Ia berkata pada Nabi,” Wahai
kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki.
Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau
inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit
yang dideritamu, akan kami carikan ubat. Jika kau inginkan kekuasaan,
biar kami jadikan engkau penguasa kami.”
Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun
beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti,
Nabi bertanya, “ Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?” - “Sudah,” jawab
Utbah. Nabi membalas ucapan Utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika
sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk
mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.
Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak hairan
bagaimana Nabi dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh
musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain.
Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku
kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau
mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara.
Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau
mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara
penceramah kadang-kadang tertutup oleh suara kita.
Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episod hijrah, ada utusan kafir
Mekkah yang meminta janji bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang
pergi ke Madinah sepeninggal Nabi. Selang beberapa waktu, seorang sahabat
rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan
isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir,
akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui
Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? “ Kembalilah engkau ke
Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah
melindungimu.” Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat
ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji
itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu
janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi
telah menyerap di sanubari kita atau tidak.
Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada
para sahabat, “ Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak
ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut
balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan
perbuatanku pada kalian, ucapkanlah! “ Sahabat yang lain terdiam, namun ada
seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “ Dahulu ketika
engkau memeriksa barisan di saat akan pergi perang, engkau meluruskan
kedudukanku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak,
tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.” Para sahabat lain terpana,
tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar
langsung berdiri dan siap membereskan orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun
menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada
di rumah Nabi keheranan ketika Nabi meminta tongkat. Setelah Bilal
menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin hairan, mengapa ada
sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul
berikan pada mereka.
Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya
menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata,
“Lakukanlah!” Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi
suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk
Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu
dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu! Aku ikhlas atas semua
perilakumu wahai Rasulullah.” Seketika itu juga terdengar ucapan -
Allahu Akbar - berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi
itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya
semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin
memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.
Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun
badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan
memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati
karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada
orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan
Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan
kita menjadi orang yang muflis. Naudzu billah.....
Nabi Muhammad ketika saat haji Wada, di padang Arafah yang terik,
dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya
itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “
Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah
aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa
jawaban kalian? “ Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan
air mata. Nabi melanjutkan, “ Bukankah telah kujalani hari-hari bersama
kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku
karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar
menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku sampaikan pada kalian wahyu dari
Allah.....? “ Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “
Benar ya Rasul! “
Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah
saksikanlah...Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah!.” Nabi meminta
kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini
saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah.
Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu,
betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu,
betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah;
semua budi pekertinya yang agung,
betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama
Nabiyullah Muhammad,
betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan
surganya Nabi kami.
Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah
Ambillah iktibar dan pengajaran dan sebarkanlah message ini sekurang-kurangnya sebagai tanda kasih dan sayang pada Baginda.
No comments:
Post a Comment